Selasa, 21 Oktober 2014

Kunci Sukses Menjadi Orangtua Anak Autis

     Banyak pertanyaan yang selalu dipertanyakan orang tua kepada terapis ataupun guru anak autis. tetapi pertanyaan yang paling sering dilontarkan adalah "Bagaimanakah orangtua dapat memberikan penanganan terbaik bagi anak-anak autis?" dan jawabannya:
1. Lupakan semua yang Anda ketahui?
2. Lupakan semua yang Anda inginkan untuk diri sendiri?
3. Lupakan apa yang dinilai penting oleh masyarakat?
Karena lebih baik orang tua berfokus pada karakteristik masing-masing anak. Karena ada begitu banyak variasi pada anak-anak autis, begitu kompleks masalah yang anak hadapi, sehingga setiap anak perlu ditangani secara individual. Jangan terpaku pada kekurangan anak, tetapi selalu cari kelebihan dan kemampuan positifnya (Donna William).

     Intinya temukan dan kembangkan hal positif yang dimiliki anak!!!! Itulah yang terpenting untuk orangtua ketahui dan syukuri atas semua yang ada pada anak. Janganlah membandingkan anak kita dengan anak yang lainnya. Anak kita adalah anak unik yang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Sikap yang mencengkram anak kita adalah saat kita orangtua merasa paling tahu apa yang terbaik untuk anak, sehingga dengan sadar kita mulai memberikan batasan dan larangan-larangan atas perilaku anak yang malah menghambat perkembangan anak. Dengan terlalu seringnya kita mengabaikan keinginan anak dan perasaan anak demi mencapai target kemajuan yang sudah kita tentukan sendiri. Padahal hanya berempati dan memberi kebebasan bagi anak untuk melakukan hal-hal yang disukainya adalah cara orangtua untuk menunjukkan kepercayaan dan mengenal anak dengan baik.

     Secara psikologis anak autis memiliki kebutuhan yang sama dengan anak normal. Pertama, mereka ingin diterima sebagai individu yang unik dengan segala kekurangan dan keunggulannya. Mereka ingin dicintai dan sebagaimana adanya. Bila anak autis selalu diarahkan untuk berperilaku sebagai anak normal, ia akan merasa tertekan karena berarti penolakan terhadap kondisi dirinya. Kedua, mereka ingin belajar tentang dunia luar tetapi juga berharap dipahami dunianya oleh orang lain. jadi proses belajar harus dilakukan timbal balik. Anak autis harus belajar menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan orangtua juga harus belajar memahami dunia anak. Ketiga, mereka ingin dipandang sebagai individu yang punya potensi-potensi positif dan mampu mencapai prestasi. Bila orangtua hanya berfokus pada kekurangan anak autis, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk berkembang secara optimal.

     Bagi keluarga, anak autis merupakan beban tersendiri karena membutuhkan perhatian terus-menerus serta menguras tenaga juga tabungan kita.  Situasi ini menimbulkan stres yang berkepanjangan dalam keluarga. Perubahan amat terasa dalam interaksi keluarga dan rencana jangka panjang. Dalam kehidupan sehari-hari, saudara sekandung harus pula menyesuaikan diri dengan adik/kakaknya yang istimewa. Terjadi perubahan dalam penerapan disiplin, cara komunikasi, kegiatan rekreasi, dan bahkan jenis makanan yang dinikmati di rumah. Hal penting yang perlu kita yakini adalah bahwa hadirnya anak autis bukan hal yang memalukan.Hal penting yang perlu kita yakini adalah bahwa hadirnya anak autis bukan hal yang memalukan (Adriana S. Ginanjar (2008), Panduan praktis mendidik anak autis menjadi orang tua istimewa, Jakarta).

        Percayalah kepada anak. Apapun yang anak miliki sekarang adalah "KARUNIA" yang begitu misterius untuk menjadi berkah bagi orangtua agar lebih mengenal anak. Konsisten, kesabaran, pengertian, cinta, kepercayaan dan pembimbingan adalah kunci keberhasilan bagi kita untuk lebih mengenal anak kita.

Oleh: Maria J. Sewow (Terapis)

Sabtu, 27 September 2014

IDENTIFIKASI ANAK GANGGUAN AUTIS

Identifikasi Anak Autis
Autis dapat didefinisikan sebagai gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan gangguan dalam komunikasi dan interaksi sosialdan pola terbatasberulang dan stereotip perilaku dalam minat dan kegiatan (DSM IV). Wing dan Gold (Dodd, 2005) mengatakan bahwa anak autis dicirikan oleh tiga hambatan atau istilah nya adalah ‘a triad of impairments’, gangguan autis berpengaruh pada kemampuan seseorang dalam bidang komunikasi, interaksi sosial dan minat yang terbatas dan perilaku yang selalu berulang.
1.      Dampak Gangguan Autistik Terhadap Individu.
Dampak gangguan autistik terhadap individu sangat jelas yaitu seperti yang dituliskan di atas, untuk lebih jelasnya adalah:
a. Komunikasi (communication), termasuk semua aspek komunikasi: pemahaman dan menggunakan komunikasi verbal dan non verbal untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Anak dengan gangguan autistic kebanyakan tidak bisa bicara, dan mereka tidak bisa mengkompensasikan ketidakmampuan bicaranya dengan bahasa lain seperti bahasa isyarat. Kalaupun ada anak dengan gangguan autist bisa bicara, mereka hanya membeo, atau mereka berbicara tetapi kurang dapat memiliki pemaknaan tentang apa yang mereka ucapkan, sehingga kesannya hanya menghafal. Terkadang anak dengan gangguan autis berbicara dengan cara yang tidak biasa, mereka nampak tidak mampu untuk menggabungkan kata-kata ke dalam kalimat yang bermakna. (Departemen and Health and Human Services). selain mereka kurang mampu untuk berbicara dan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa verbal, bahasa tubuh mereka juga tidak dapat dipahami
b.   Hubungan sosial (social relating), anak dengan gangguan autis memiliki hambatan tentang bagaimana berinteraksi atau berhubungan dengan orang lain, termasuk keterampilan seperti berbagi (sharing) dan bergiliran (turn taking), mengerjakan tugas (attending to task). Anak dengan gangguan autis memiliki kesulitan yang besar untuk belajar memberi dan menerima (take and give) dalam hubungan interaksi dengan orang di sekelilingnya. Mereka tampak tidak tertarik untuk berinteraksi dengan orang lain, dan mereka nampak lebih suka menyendiri dan berinteraksi dengan obyek. Banyak anak dengan gangguan autis nampak memiliki kesulitan besar untuk belajar meminta dan memberi (take and give) dalam interaksi sehari-hari. Tidak suka dipeluk dan dipangku.
c. Minat yang terbatas dan perilaku berulang (repetitive), ini diperlihatkan dengan kekurangmampuan anakautistic spectrum disorder untuk dapat berimajinasi, penalaran abstrak yang kurang, keterampilan bermain yang terbatas, pemikiran konkret (ini lebih disebabkan anak kurang mampu dalam penalaran secara abstrak) dan keinginan kuat dalam keteraturan (consistency).
d.    Ketiga hambatan ini tampak sebelum umur tiga puluh bulan (dua setengah tahun)  (Kanner dalam Trevarthen, 1998).
Selain tiga ciri utama di atas, saat ini juga ditambahkan sejumlah ciri yang berhubungan dengan pemahaman dan perhatian autisme, ini termasuk: sensitivitas  sensori, aspek-aspek kognisi termasuk: gaya belajar visual, masalah perhatian, dan karakteristik pemrosesan informasi; dan hambatan dalam empati yang meliputi: masalah emosional, joint attention, theory of mind; dan kesulitan penerjemahan mood dan perilaku orang lain. (Dodd, 2007:3-5).
Ahli lain mengatakan bahwa autism adalah gangguan neurodevelopmental yang dicirikan oleh gangguan perkembangan sosial yang berat. (Bailey, Philips  & Ruteur, 1996; Kanner, 1943; Volkmar, Lord, Bailey Shultz & Klin, 2004).
Selain tiga ciri utama di atas saat ini sejumlah ciri-ciri yang berhubungan dengan pemahaman dan perhatian autisme juga ditambahkan, ini termasuk: sensitivitas sensori, aspek-aspek kognisi termasuk: gaya belajar visual, masalah perhatian, dan karakteristik pemrosesan informasi; dan hambatan dalam empati yang meliputi: masalah emosional, joint attentiontheory of mind; dan kesulitan penerjemahan mood dan perilaku orang lain. (Dodd, 2007:3-5).
2.      Karakteristik  Komunikasi Anak Autis
Pada anak autistc spectrum disorder peran sebagai pengirim dan penerima pesan tdak berkembang dengan baik, padahal komunikasi itu memiliki peran yang sangat penting untuk:
a)    Untuk mengatur perilaku (komunikasi digunakan untuk meminta, protes, untuk memenuhi       kebutuhan fisik dengan segera);
b) Meningkatkan interaksi sosial (komunikasi digunakan untuk  mengawali, merespon, mempertahankan dan untuk mengakhiri interaksi sosial);
c)  Meningkatkan joint attention (komunikasi digunakan untuk mengarahkan perhatian orang lain terhadap objek, kejadian atau topik, untuk mengomentari atau memberikan informasi pada orang lain).
Dodd (2005) menuliskan cara anak autis berkomunikasi sebagai berikut:
a)    Motorik: menarik tangan orang tua dan menariknya ke lemari untuk menunjukkan “ingin biskuit”;
b)      Dengan gesture: menunjuk, memperlihatkan item yang diinginkan, contoh: memperlihatkan cangkir kosong untuk meminta susu;
c)      Vocalisasi. contoh: menangis, untuk menunjukkan dia lapar;
d)  Menggunakan obyek nyata, contohnya mneunjukkan sampul video yang menunjukkan keinginan anak untuk menonton video;
e)      Menggunakan foto, seperti memperlihatkan foto suatu obyek baik berwarna ataupun hitam putih untuk menginginkan sesuatu;
f)     Menggambarkan dengan garis: memperlihatkan gambar dua dimensi untuk menggambarkan perasaan, benda atau tindakan. Contoh: dia memperlihatkan sketsa wajah sedih untuk menggambarkan hatinya yang sedih;
g)     Melalui tulisan.
3.      Karakteristik Interaksi Sosial Anak Autis
Quill (2000) menyatakan bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk mengakomodasi atauberadaptasi dengan situasi yang sedang berlangsung dan  interaksi sosial. tidak seperti kognitif danperkembangan bahasa, yang berbasis aturan, perkermbangan sosial terus berubah,sejalan dengan berjalannya kehidupan seseorang.
Hasil survey Wings dan Gold (1987) dalam Dodd (2005) telah menemukan bahwa hambatan sosial yang dikaitkan dengan autism dapat dibedakan dalam tiga tipe, yaitu: sikap menyendiri (social aloofness), interaksi yang pasif (passive interaction) dan interaksi aktif tetapi aneh (active-but-odd interaction). Menurut Janzen (1996) dalam Dodd (2005) sejumlah hambatan yang berhubungan dengan interaksi sosial pada anak autis termasuk:
a)  Ketidakmampuan memahami perspektif orang lain dan bagaimana perspektifnya memiliki pengaruh pada orang lain;
b)  Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi dan memahami informasi sosial yang dihasilkan melalui ekspresi wajah, gestur, nuansa bahasa dsb;
c)         Ketidakmampuan menyusun respon yang tepat dalam situasi sosial yang beragam;
d)        Ketidakmampuan untuk menunjukkan penilaian sosial;
e)        Ketidakmampuan untuk berbagi  obyek dan informasi dengan orang lain (joint attention);
f)         Ketidakmampuan memilah informasi yang relevan dan tidak relevan;
g)        Ketidakmampuan untuk berpikir secara abstrak (berpikir literal);
h)    Ketidakmampuan untuk melihat gambar secara keseluruhan ketimbang berfokus pada detil yang lebih kecil (ini merupakan kesulitan untuk menggeneralisasikan detil persepsi ke dalam konsep dan makna pada skema yang lebih besar);
i)          Keterbatasan untuk berkomunikasi dengan orang lain baik secara verbal maupun non verbal.
4.      Karakteristik Perilaku Anak Autis
Salah satu hambatan yang dikemukakan Wing (1988,1996) adalah hambatan tentang imaginasi dan pemahaman sosial, yang digambarkan dengan:
a)   Keterlambatan atau tidak ada imajinasi bermain pura-pura;
b)   Ketergantungan pada rutinitas dan pengalaman yang akrab;
c)   Tidak menyukai pengalaman baru dan resistensi terhadap perubahan;
d)   Pemikiran yang tidak fleksibel;
e)    Mengejar satu tujuan dan minat khusus;
f)    Sulit memahami pendapat orang lain. 
g)   Anak autis tidak dapat mengembangkan permainan pura-pura dan aktivitas imajinatif dalam cara yang sama seperti anak-anak yang lain. (Dodd, 2005)
Selain hambatan di atas pola prilaku atau minat anak autistic disorders juga terbatas dan repetitif, ini diperlihatkan dengan perilaku sebagai berikut:
a)    Menonton video yang sama berulangkali;
b)   Mengurutkan obyek dengan cara tertentu;
c)    Memperlihatkan keterikatan yang kuat dengan benda mati seperti mainan tertentu, seutas tali atau alat tertentu;
d)   Memiliki ketertarikan yang kuat dengan gerakan seperti gerakan kipas angin dan roda yang berputar, buka tutup pintu;
e)  Berjalan mondar mandir atau berlari-lari atau berputar-putar; mengeksplor lingkung dengan memukul-mukul, membaui, atau menyeentuh obyek atau manusia;
f)    Memperlihatkan kesensitifan untuk suara-suara tertentu seperti suara orang bernyanyi, suara vaum cleaner yang gaduh;
g)   Kesulitan untuk menunggu;
h)   Memperlihatkan respon terganggu dengan suhu atau sakit;
i)     Memiliki ketertarikan untuk pola visual, lampu atau permukaan yang mengkilap;
j)     Kurang memiliki rasa takut atau menyadari bahaya yang nyata;
k) Memiliki ketakutan tersendiri pada benda-benda atau situasi yang tidak berbahaya, sepeti boneka, anjing, dan orang yang berpakaian seperti badut;
l)     Defensif terhadap sentuhan yang tidak diawali oleh dirinya;
m)  Memiliki masalah makan dan tidur.
5.      Klasifikasi Autis
Pengklasifikasian gangguan autis tidak mudah tetapi karena rentang yang sangat lebar dari yang ringan sampai yang berat, dari anak autis yang memiliki kecerdasan seperti anak-anak umumnya atau lebih, atau autis yang disertai dengan ketunagrahitaan, Dodd (2005) menuliskan derajat hambatan pada anak autis yang dibedakan dalam kelompok: asperger syndrome, rett syndrom, child disintegratif disorders, pervasive developmental disorders – not other wise (PDD-NOS).
a.    Asperger Syndrome
Asperger syndrome oleh para praktisi sering disebut sebagai anak autis yang high functioning. Mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata anak pada umumnya. Asperger (Dianne Zager, 2005) menggambarkan bahwa asperger syndrome merupakan hambatan qualitatif dalam hubungan sosial yang timbal balik, dimanifestasikan dengan hubungan yang tidak luwes, sensitivitas, kesadaran yang memadai tentang keunikan sudut pandang, perasaan dan sikap terhadap orang lain. Asperger Syndrome gagal untuk mengapresiasi makna isyarat non-verbal, tujuan sosial, kedalaman dan rentang status perasaan dan bahwa komentar dan prilaku memiliki dampak emosional terhadap orang lain. (Klin, Schultz, Rubin, Bronen & Volkmar, 2001; Shamay-Tsoory, Tomer, Yaniv &Aharon Perezt, 2002 dalam Dianne Zager, 2005). Menurut DSM IV, kriteria diagnostikAsperger Syndrome adalah sebagai berikut:
1)     Hambatan kualitatif dalam interaksi sosial seperti diperlihatkan dalam sekurang-kurangnya dua dari kriteria berikut:
(a) Hambatan yang jelas dalam menggunakan berbagai perilaku non-verbal, seperti, bertatapan (eye-to-eye gaze), ekspresi wajah, postur tubuh, dan gestur untuk mengatur interaksi sosial;
(b)  Gagal mengembangakan hubungan dengan teman sebaya secara tepat sesuai tahap perkembangan;
(c)     Kurang memperlihatkan spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat, atau keberhasilan dengan orang lain;
(d)     Secara sosial atau emosional kurang timbal balik. 
2)   Pola perilaku yang terbatas: stereotype dan berulang-ulang, minat dan aktivitas seperti dimanifestasikan sekurang-kurangnya satu dari kriteria berikut:
(a)   Meliputi keasyikan yang stereoptip dan pola minta yang terbatas baik dalam intensitas atau fokus;
(b)     Nampak tidak fleksibel dalam kepatuhan terhadap rutinitas khusus yang tidak fungsional atau ritual;
(c)   Gerak laku yang stereotipe dan berulang-ulang. Seperti: mengepak-ngepakkan tangan atau jari tangan atau berputar-putar (twisting) atau gerakan seluruh tubuh secara kompleks;
(d)     Asyik dengan bagian-bagian dari obyek.
3)        Gangguan klinis secara signifikan yang menyebabkan hambatan dalam sosial, pekerjaan dan bidang penting lainnya;
4)        Secara umum mereka tidak memiliki keterlambatan dalam bahasa (contohnya pada usia dua tahun menggunakan satu kata, pada usia tiga tahun berkomunikasi menggunakan phrase);  
5) Secara klinis tidak memiliki keterlambatan dalam perkembangan kognitif atau dalam perkembangan keterampilan membantu diri sendiri (self-help), prilaku adaptif (kecuali dalam interaksi sosial) dan keingintahuan tentang lingkungan pada masa kanak-kanak (childhood);
6)        Tidak ada kriteria PDD spesifik yang lain atau schizoprenia.
Dari uraian di atas dapat dicermati bahwa anak asperger syndrome tidak memiliki hambatan berarti dalam bahasa dan perkembangan kognitif mereka mereka juga tidak mengalami keterlambatan. Dengan intervensi yang tepat dalam berkomunikasi dan berinteraksi serta intervensi perilaku secara dini, mereka dapat berkembang optimal dan bisa mencapai tingkat akademik yang tinggi.
b.   Rett Syndrom
Rett Syndrome mulai ditemukan oleh seorang dokter dari Austria yang bernama Andreas Rett. Tahun 1966 Rett melaporkan bahwa ada 22 orang anak perempuan dengan sindrom yang terdiri dari: gerakan tangan yang stereotip, demensia, perilaku autistik, ataksia, pertumbuhan terhenti. Rett Syndrome memiliki karakteristik pola kognitif dan stagnasi secara fungsional berikut kemunduran pertumbuhan dan perkembangan otak. Rett Syndromekebanyakan (sebanyak 80%) dialami oleh anak-anak perempuan.  (Richard Van Acker, Jennifer A. Loncola, Eryn Y. Van Acker dalam Fred R. Volkmar, Rhea Paul, Amy Klin, Donald Cohen, 2005).  Kriteria Rett Syndromedalam DSM-IV tercantum sebagai berikut:
1)   Semua yang berikut:
(a)      Perkembangan selama perinatal dan natal nampak normal.
(b)      Perkembangan psikomotor nampak normal sampai lima bulan setelah lahir
(c)      Perkembangan kepala ketika lahir normal.
2)   Satu dari seluruh seperti berikut setelah periode perkembangan normal
(a)           Perlambatan pertumbuhan kepala antara 5 sampai 48 bulan
(b)       Keterampilan tangan yang telah diperoleh sebelumnya menghilang antara usia 5 sampai 30 bulan dan berikutnya berkembang gerakan tangan stereotip. (meremas-remas tangan atau mencuci tangan);
(c)  Kedekatan sosial awal hilang (meskipun perkembangan interaksi sosial berkembang kemudian);
(d)        Gerakan tubuh atau koordinasi berjalan nampak kurang;
(e)  Hambatan yang berat dalam perkembangan bahasa ekspresif dan reseptif dengan keterbelakangan psikomotor yang berat.
Pada tahun pertama perkembangan anak yang termasuk Rett Syndrome seperti anak-anak pada umumnya, dan mulai menurun dan menghilang pada usia lima bulan kehidupannya, terutama pada perkembangan motoriknya. Fungsi kognitifnya juga mulai menurun.
c.    Child Disintegratif Disorder
Child Disintegratif Disorders merupakan bentuk regresif Pervasive Depelopment Disorders yang lain dan mulai digambarkan sebagai disintegrative psychosis oleh Heller pada awal tahun 1990 an. Satu persepuluh umumnya sama seperti autis (Volkmar, Klin, Marras, 1997 dalam Zager, 2005). Perkembangan anak CDD nampak sempurna seperti anak-anak pada umumnya pada sekurang-kurangnya dua tahun pertama kehidupannya, keterampilannya menghilang sekurang-kurangnya dua dari bidang-bidang berikut: bahasa, keterampilan sosial, bermain, keterampilan gerak, dan toileting.
Kriteria anak CDD dalam DSM-IV, digambarkan seperti berikut:
1)        Perkembangan nampak normal sekurang-kurangnya dua tahun pertama kehidupan setelah lahir, komunikasi verbal dan nonverbal, hubungan sosial, bermain, dan perilaku adaptif sesuai dengan umurnya.
2)     Keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya secara klinis hilang secara signifikan (sebelum usia 10 tahun) sekurang-kurangnya dua dari bidang-bidang berikut:
(a)  Bahasa ekspresif dan reseptif.
(b) Keterampilan sosial atau perilaku adaptif,
(c)  Kontrol ke belakang
(d) Bermain
(e)  Keterampilan motorik
3)        Abnormalitas fungsi dalam sekurang-kurangnya dua dari bidang-bidang berikut:
(a)     Hambatan kualitatif dalam interaksi sosial. (hambatan dalam perilaku nonverbal, gagal untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya. Kurang hubungan timbal balik baik secara emosi ataupun secara sosial)
(b) Hambatan kualitatif dalam komunikasi terlambat atau kurang dalam bahasa verbal, ketidakmampuan untuk mengawali atau memelihara pembicaraan, stereotype dan pengulangan dalam berbahasa, permainan kurang bervariasi.
(c)   Kurang spontanitas dalam bermain dan tidak variataif atau permainan imitasi sosial tidak tepat dengan tahap perkembangannya.
(d)  Pengulangan yang terbatas dan pola stereotipe dalam perilaku, minat, dan kegiatan, termasuk stereotipe gerak.
d.   Pervasive Developmental Disorders-not other wise (PDD-Nos)
PDD-Nos tidak mudah untuk diidentifikasi, dilihat dari usia terjadinya PDD-Nos tidak ada ketentuan, hambatan dalam keterampilan sosial bisa ada bisa tidak ada, keterampilan komunikasi cukup sampai baik, rentang IQ tunagrahita berat sampai normal.

Selasa, 23 September 2014

LOGO PUSAT LAYANAN AUTIS PROVINSI GORONTALO

Makna dari Logo Pusat Layanan Autis Provinsi Gorontalo
Lingkaran Telur mengartikan bentuk dari Telur Burung Maleo (Burung khas daerah Gorontalo)
Puzzel mengartikan autis
Gambar anak berpelukan mengartikan bahwa Pusat Layanan Autis Provinsi Gorontalo merangkul semua anak Autis di Provinsi Gorontalo tanpa membedakan ras dan status ekonomi.

By. Uzair R. Idris, S.Pd (Kepala PLA Prov. Gorontalo)

Terapi Diet pada Gangguan Autisme

Sampai saat ini belum ada obat atau diet khusus yang dapat memperbaiki struktur otak atau jaringan syaraf yang kelihatannya mendasari gangguan autisme. Seperti diketahui gejala yang timbul pada anak dengan gangguan autisme sangat bervariasi, oleh karena itu terapinya sangat individual tergantung keadaan dan gejala yang timbul, tidak bisa diseragamkan. Namun akan sulit sekali membuat pedoman diet yang sifatnya sangat individual. Perlu diperhatikan bahwa anak dengan gangguan autisme umumnya sangat alergi terhadap beberapa makanan. Pengalaman dan perhatian orangtua dalam mengatur makanan dan mengamati gejala yang timbul akibat makanan tertentu sangat bermanfaat dalam terapi selanjutnya. Terapi diet disesuaikan dengan gejala utama yang timbul pada anak. Berikut beberapa contoh diet anak autisme.
1. Diet tanpa gluten dan tanpa kasein
Berbagai diet sering direkomendasikan untuk anak dengan gangguan autisme. Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein.
Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam keluarga “rumput” seperti gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley. Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada tepung terigu dan tepung bahan sejenis, sedangkan kasein adalah protein susu. Pada orang sehat, mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang serius/memicu timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan karena makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung gluten. Beberapa contoh resep masakan yang terdapat pada situs Autis.info ini diutamakan pada menu diet tanpa gluten dan tanpa kasein. Bila anak ternyata ada gangguan lain, maka tinggal menyesuaikan resep masakan tersebut dengan mengganti bahan makanan yang dianjurkan. Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapat dilihat dalam waktu antara 1-3 minggu. Apabila setelah beberapa bulan menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok dan anak dapat diberi makanan seperti sebelumnya.
Makanan yang dihindari adalah :
  • Makanan yang mengandung gluten, yaitu semua makanan dan minuman yang dibuat dari terigu, havermuth, dan oat misalnya roti, mie, kue-kue, cake, biscuit, kue kering, pizza, macaroni, spageti, tepung bumbu, dan sebagainya.
  • Produk-produk lain seperti soda kue, baking soda, kaldu instant, saus tomat dan saus lainnya, serta lada bubuk, mungkin juga menggunakan tepung terigu sebagai bahan campuran. Jadi, perlu hati-hati pemakaiannya. Cermati/baca label pada kemasannya.
  • Makanan sumber kasein, yaitu susu dan hasil olahnya misalnya, es krim, keju, mentega, yogurt, dan makanan yang menggunakan campuran susu.
  • Daging, ikan, atau ayam yang diawetkan dan diolah seperti sosis, kornet, nugget, hotdog, sarden, daging asap, ikan asap, dan sebagainya. Tempe juga tidak dianjurkan terutama bagi anak yang alergi terhadap jamur karena pembuatan tempe menggunakan fermentasi ragi.
  • Buah dan sayur yang diawetkan seperti buah dan sayur dalam kaleng.
Makanan yang dianjurkan adalah :
  • Makanan sumber karbohidrat dipilih yang tidak mengandung gluten, misalnya beras, singkong, ubi, talas, jagung, tepung beras, tapioca, ararut, maizena, bihun, soun, dan sebagainya.
  • Makanan sumber protein dipilih yang tidak mengandung kasein, misalnya susu kedelai, daging, dan ikan segar (tidak diawetkan), unggas, telur, udang, kerang, cumi, tahu, kacang hijau, kacang merah, kacang tolo, kacang mede, kacang kapri dan kacang-kacangan lainnya.
  • Sayuran segar seperti bayam, brokoli, labu siam, labu kuning, kangkung, tomat, wortel, timun, dan sebagainya.
  • Buah-buahan segar seperti anggur, apel, papaya, mangga, pisang, jambu, jeruk, semangka, dan sebagainya.

2. Diet anti-yeast/ragi/jamur
Diet ini diberikan kepada anak dengan gangguan infeksi jamur/yeast. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertumbuhan jamur erat kaitannya dengan gula, maka makanan yang diberikan tanpa menggunakan gula, yeast, dan jamur.
Makanan yang perlu dihindari adalah :
  • Roti, pastry, biscuit, kue-kue dan makanan sejenis roti, yang menggunakan gula dan yeast.
  • Semua jenis keju.
  • Daging, ikan atau ayam olahan seperti daging asap, sosis, hotdog, kornet, dan lain-lain.
  • Macam-macam saus (saus tomat, saus cabai), bumbu/rempah, mustard, monosodium glutamate, macam-macam kecap, macam-macam acar (timun, bawang, zaitun) atau makanan yang menggunakan cuka, mayonnaise, atau salad dressing.
  • Semua jenis jamur segar maupun kering misalnya jamur kuping, jamur merang, dan lain-lain.
  • Buah yang dikeringkan misalnya kismis, aprokot, kurma, pisang, prune, dan lain-lain.
  • Fruit juice/sari buah yang diawetkan, minuman beralkohol, dan semua minuman yang manis.
  • Sisa makanan juga tidak boleh diberikan karena jamur dapat tumbuh dengan cepat pada sisa makanan tersebut, kecuali disimpan dalam lemari es.
Makanan tersebut dianjurkan untuk dihindari 1-2 minggu. Setelah itu, untuk mencobanya biasanya diberikan satu per satu. Bila tidak menimbulkan gejala, berarti dapat dikonsumsi.
Makanan yang dianjurkan adalah :
  • Makanan sumber karbohidrat: beras, tepung beras, kentang, ubi, singkong, jagung, dan tales. Roti atau biscuit dapat diberikan bila dibuat dari tepaung yang bukan tepung terigu.
  • Makanan sumber protein seperti daging, ikan, ayam, udang dan hasil laut lain yang segar.
  • Makanan sumber protein nabati seperti kacang-kacangan (almod, mete, kacang kedelai, kacang hijau, kacang polong, dan lainnya). Namun, kacang tanah tidak dianjurkan karena sering berjamur.
  • Semua sayuran segar terutama yang rendah karbohidrat seperti brokoli, kol, kembang kol, bit, wortel, timun, labu siam, bayam, terong, sawi, tomat, buncis, kacang panjang, kangkung, tomat, dan lain-lain.
  • Buah-buahan segar dalam jumlah terbatas.

3. Diet untuk alergi dan inteloransi makanan
Anak autis umumnya menderita alergi berat. Makanan yang sering menimbulkan alergi adalah ikan, udang, telur, susu, cokelat, gandum/terigu, dan bias lebih banyak lagi. Cara mengatur makanan untuk anak alergi dan intoleransi makanan, pertama-tama perlu diperhatikan sumber penyebabnya. Makanan yang diduga menyebabkan gejala alergi/intoleransi harus dihindarkan. Misalnya, jika anak alergi terhadap telur, maka semua makanan yang menggunakan telur harus dihindarkan. Makanan tersebut tidak harus dipantang seumur hidup. Dengan bertambahnya umur anak, makanan tersebut dapat diperkenalkan satu per satu, sedikit demi sedikit.

Cara mengatur makanan secara umum
  1. Berikan makanan seimbang untuk menjamin agar tubuh memperoleh semua zat gizi yang dibutuhkan untuk keperluan pertumbuhan, perbaikan sel-sel yang rusak dan kegiatan sehari-hari.
  2. Gula sebaiknya dihindari, khususnya bagi yang hiperaktif dan ada infeksi jamur. Fruktosa dapat digunakan sebagai pengganti gula karena penyerapan fruktosa lebih lambat disbanding gula/sukrosa.
  3. Minyak untuk memasak sebaiknya menggunakan minyak sayur, minyak jagung, minyak biji bunga matahari, minyak kacang tanah, minyak kedelai, atau minyak olive. Bila perlu menambah konsumsi lemak, makanan dapat digoreng.
  4. Cukup mengonsumsi serat, khususnya serat yang berasal dari sayuran dan buah-buahan segar. Konsumsi sayur dan buah 3-5 porsi per hari.
  5. Pilih makanan yang tidak menggunakan food additive (zat penambah rasa, zat pewarna, zat pengawet).
  6. Bila keseimbangan zat gizi tidak dapat dipenuhi, pertimbangkan pemberian suplemen vitamin dan mineral (vitamin B6, vitmin C, seng, dan magnesium).
  7. Membaca label makanan untuk mengetahui komposisi makanan secara lengkap dan tanggal kadaluwarsanya.
  8. Berikan makanan yang cukup bervariasi. Bila makanan monoton, maka anak akan bosan.
  9. Hindari junk food seperti yang saat ini banyak dijual, ganti dengan buah dan sayuran segar.


Sumber : Terapi Makanan Anak Dengan Gangguan Autisme